Jumat, 15 Januari 2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tenaga listrik mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional maka usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu.
Seiring perkembangan zaman kebutuhan akan listrik bagi masyarakat yang dahulunya hanya sebatas penerangan pada malam, kini listrik menjadi pilar utama penopang seluruh sector kehidupan masyarakat. Kondisi ini tidak diimbangi oleh ketersediaan listrik yang memadai oleh pemasok listrik di tanah air dalam hal ini menjadi tanggung jawab PT PLN PERSERO.
Seringnya pemadaman listrik bergilir secara sepihak menjadi indikasi hal tersebut. Adanya pemadaman listrik secara sepihak tanpa adanya ganti rugi dan atau konpensasi mengakibatkan masyarakat sebagai konsumen listrik mengalami kerugian.
Berdasarkan uraian singkat diatas penulis tertarik untuk mengakaji TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN LISTRIK.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan yuridis perlindungan hokum terhadap konsumen listrik ?
2. Langkah hokum yang dapat ditempuh oleh masyarakat sebagai konsumen listrik?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memperoleh pengetahuan terkait perlindungan hokum terhadap konsumen listrik;
3. Untuk memperoleh informasi dan referensi mengenai langkah-langkah hokum yang dapat ditempuh oleh masyarakat sebagai konsumen listrik.
D. Keguanaan Penulisan
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hokum khususnya dalam perlindungan konsumen;
2. Menambah informasi dan referensi mengenai langkah-langkah hokum yang dapat ditempuh oleh masyarakat sebagai konsumen listrik;
3. Memenuhi salah satu persyaratan lulus mata kuliah hokum perlindungan konsumen.
E. Metodelogi Penulisan
1. Obyek penelitian
Obyek pengamatan yakni dalam hal kasus pemadaman listrik yang dilakukan secara sepihak oleh PLN tanpa adanya ganti rugi dan atau konpensasi
2. Sumber data
Sumber data yang dijadikan acuan yakni data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, diperoleh dengan mengkaji bahan-bahan pustaka.
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian pustaka melalui sumber tertulis yang terkai dengan apa yang menjadi pembahasan.
4. Analisa data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni data yang diperoleh akan dianalisa dengan cara memaparkan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas serta menguraikannya guna memberikan gambaran yang jelas.

BAB II
TINJAUAN UMUM KONSUMEN LISTRIK DAN
USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK
A. Tinjauan Umum Konsumen Listrik
1. Definisi Konsumen listrik
Menurut UU no 30 Tahun 2009 tentang ketenaga listrikan, Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik. (Pasal 1 Ayat 7 UU No 30 Tahun 2009).
Sementara dalam UU No 08 Tahun 1999 yang dimaksud dengan konsumen adalah Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
2. Hak dan Kewajiban Konsumen listrik
a. Hak Konsumen Listrik
mendapat pelayanan yang baik;
mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik;
memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar;
mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik; dan
mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
b. Kewajiban Konsumen Listrik
melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;
menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen;
memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;
membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan
menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.
B. Tinjauan Umum Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
1. Definisi usaha tenaga listrik
Menurut UU no 30 Tahun 2009, Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan tenaga listrik meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen. Usaha penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen.
2. Hak Dan Kewajiban Penyedia Tenaga Listrik.
a. Hak penyedia tenaga listrik
melintasi sungai atau danau baik di atas maupun di bawah permukaan; melintasi laut baik di atas maupun di bawah permukaan;
melintasi jalan umum dan jalan kereta api;
masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu;
menggunakan tanah dan melintas di atas atau dibawah tanah; melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan
memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.
b. Kewajiban penyedia tenaga listrik
menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang berlaku;
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat;
memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan; dan mengutamakan produk dan potensi dalam negeri

BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TENAGA LISTRIK
A. Definisi Perlindungan Hukum
Menurut UU No 08 Tahun 1999 perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
B. Hubungan Hukum Antara Konsumen Dengan Penyedia Listrik
Pengertian mengenai jual- beli itu sendiri diatur dalam Pasal 1457 Kitab Undang- undang Hukum Perdata yang menyatakan jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Hubungan hokum antara konsumen listrik dengan usaha tenaga listrik adalah jual-beli yaitu sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian mencakup empat hal, yaitu:
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ( adanya kesepakatan).
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan(kecakapan para pihak)
c) Suatu hal tertentu
d) Suatu sebab yang halal
C. Dasar Hukum
Dasar hokum perlindungan terhadap hak-hak konsumen listrik sejatinya cukup kuat. Setidaknya, ada tiga undang-undang yang secara komprehensif memayungi hak konsumen listrik di Indonesia. UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (sebagai revisi atas UU No 15/1985), UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan tentunya UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Listrik sebagai infrastruktur juga diikat oleh UU Pelayanan Publik, yang menyebutkan penyedia pelayanan publik harus membuat standar pelayanan yang dan memaklumatkan standar pelayanan itu dengan jelas dan terukur. Bahkan, UU ini juga mengamanatkan penyedia pelayanan publik harus membuat mekanisme pengaduan bagi konsumen. Lantas, jika berbicara hak, UUPK menggariskan konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan saat menggunakan suatu barang dan atau jasa.
Secara tegas dalam Pasal 39 UU Ketenagalistrikan menyebutkan pemegang izin usaha ketenagalistrikan wajib menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan secara terus-menerus, memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan memperhatikan hak-hak konsumen.
D. Upaya-upaya Hukum
Upaya hukum (misalnya gugatan class action dan atau gugatan biasa) akan dilakukan untuk merebut hak-hak konsumen listrik yang terampas, dua institusi yakni pemeritah dan PT PLN harus dimintai pertanggungjawaban secara tanggung renteng. Bahkan, sangat boleh jadi tanggung jawab pemerintah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tanggung jawab manajemen PT PLN. Sebab, faktanya, persoalan sektor ketenagalistrikan saat ini lebih banyak dipicu oleh persoalan hulu, bukan persoalan hilir. Penanggung jawab persoalan hulu dalam hal ini adalah pemerintah.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Pemadaman listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT PLN terbukti secara sah dan meyakinkan merugikan konsumen.
2. Secara hokum perlindungan terhadap hak-hak konsumen listrik sejatinya cukup kuat. Setidaknya, ada tiga undang-undang yang secara komprehensif memayungi hak konsumen listrik di Indonesia. UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (sebagai revisi atas UU No 15/1985), UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan tentunya UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
3. Listrik sebagai infrastruktur juga diikat oleh UU Pelayanan Publik, yang menyebutkan penyedia pelayanan publik harus membuat standar pelayanan yang dan memaklumatkan standar pelayanan itu dengan jelas dan terukur. Bahkan, UU ini juga mengamanatkan penyedia pelayanan publik harus membuat mekanisme pengaduan bagi konsumen. Lantas, jika berbicara hak, UUPK menggariskan konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan saat menggunakan suatu barang dan atau jasa.
4. Secara tegas dalam Pasal 39 UU Ketenagalistrikan menyebutkan pemegang izin usaha ketenagalistrikan wajib menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan secara terus-menerus, memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan memperhatikan hak-hak konsumen.
5. Upaya hukum (misalnya gugatan class action dan atau gugatan biasa) akan dilakukan untuk merebut hak-hak konsumen listrik yang terampas, dua institusi yakni pemeritah dan PT PLN harus dimintai pertanggungjawaban secara tanggung renteng. Bahkan, sangat boleh jadi tanggung jawab pemerintah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tanggung jawab manajemen PT PLN. Sebab, faktanya, persoalan sektor ketenagalistrikan saat ini lebih banyak dipicu oleh persoalan hulu, bukan persoalan hilir. Penanggung jawab persoalan hulu dalam hal ini adalah pemerintah.
B. SARAN
1. Diharapkan kepada pihak terkait agar lebih memperhatikan hak-hak konsumen khususnya konsumen listrik
2. Diharapkan agar hak-hak konsumen listrik seperti yang termaktub dalam UU No 30 Tahun 2009 tentang ketebagalistrikan benar-benar dapat terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

UU No 08 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
Media Indonesia, mengatasi keterpasungan konsumen listrik oleh Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI
UU No 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan
UU No 29 tahun 2009 tentang pelayanan publik
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum (Penjelasan UU Nomor 11 Tahun 2009).
Dalam hal mengenai perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce, bahwa dari sudut kepentingan konsumen, transaksi melalui internet atau e-commerce sangat rawan dengan kecurangan. Masalah hukum yang menyangkut perlindungan konsumen makin mendesak dalam hal seorang melakukan transaksi e-commerce dengan merchant website di luar negeri.
Dengan jarak jual beli yang demikian jauh, kecurangan rawan terjadi, kemudian bagaimana jika barang yang dipesan tidak sesuai dengan barang yang dikirimkan, atau bagaimana jika terjadi keterlambatan pengiriman barang sehingga barang sampai ke tangan konsumen melebihi batas waktu yang telah ditentutkan, kemana konsumen harus mengajukan protes, sedangkan sebagian besar konsumen hanya mengetahui alamat domain name-nya saja dari produsen.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan mengenai PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hokum bagi konsumen dalam transaksi E-commerce?
2. Motif kecurangan dalam transaksi E-commerce?
A. Tujuan Penulisan
1. Untuk memperoleh pengetahuan terkait perlindungan hokum terhadap konsumen dalam transaksi E-commerce
2. Untuk memperoleh informasi dan referensi mengenai kendala-kendala dalam upaya perlindungan hokum bagi konsumen dalam transaksi E-commerce
B. Keguanaan Penulisan
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hokum khususnya dalam perlindungan konsumen;
2. Memenuhi salah satu persyaratan lulus mata kuliah hokum perlindungan konsumen.
C. Metodelogi Penulisan
1. Obyek penulisan
Obyek pengamatan yakni dalam hal perlindungan hokum bagi konsumen dalam transaksi E-commerce
2. Sumber data
Sumber data yang dijadikan acuan yakni data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, diperoleh dengan mengkaji bahan-bahan pustaka.
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian pustaka melalui sumber tertulis yang terkai dengan apa yang menjadi pembahasan.
4. Analisa data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni data yang diperoleh akan dianalisa dengan cara memaparkan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas serta menguraikannya guna memberikan gambaran yang jelas.

BAB II
TINJAUAN UMUM
TRANSAKSI E-COMMERCE DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Tinjauan Umum Transaksi E-Commerce
1. Pengertian dan Dasar Hukum Transaksi E-Commerce
E-Commerce adalah perdagangan yang menggunakan mekanisme elektronik yang ada dijaringan internet, oleh sebab itu bila dibahas aspek hukum tentang E-Commerce maka pembicaraan tetap akan membahas tentang hukum internet. Maka dalam konteks ini pula maka aspek hukum yang melekat terhadap mekanisme E-Commerce adalah berinteraksi dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak yang melakukan transaksi melalui sistem E-Commerce. (http://media.diknas.go.id/media/document/4567.pdf, diakses tanggal 07 Januari 2009)
2. Dasar Hukum
Mengenai transaksi jual beli secara elektronik, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut :
a. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
b. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur mengenai kewajiban-kewajiban pelaku usaha, dalam hal ini penjual yang menawarkan dan menjual suatu produk, yaitu :
a. beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.
Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur pula mengenai beberapa perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha/penjual, antara lain pelaku usaha/penjual dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal daluwarasa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halan yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3. Para-pihak dalam Transaksi E-Commerce
Transaksi e-commerce melibatkan beberapa pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang dilakukan. Artinya apakah semua proses transaksi dilakukan secara online atau hanya beberapa tahap saja yang dilakukan secara online. Apabila seluruh transaksi e-commerce dilakukan secara online, mulai dari proses terjadinya transaksi sampai dengan pembayaran, (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, hlm. 152)
4. Mekanisme Transaksi E-Commerce
Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli biasa di dunia nyata. Pelaksanaan transaksi jual beli secara elektronik ini dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut :
1) Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui websitepada internet. Pembayaran, dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung;
2) Pembayaran dua pihak tanpa perantara;
3) Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga;
4) Pengiriman,
B. Perlindungan Konsumen
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli : (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat”.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), misalnya tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritim, ketentuan-ketentuan mengenai perantara, asuransi, surat berharga, kepailitan dan sebagainya.
Perlindungan konsumen atas pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini, karena selain sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 13 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun tentang Merek,
2. Pengertian Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakain barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha.
Berikut ini adalah hak dan kewajiban konsumen yang diberikan/dibebankan oleh undang-undang tentang perlindungan konsumen :
a. Hak Konsumen
Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang No 08 tahun 1999 Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak sebagai berikut :
1) hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur serta tidak diskriminatif;
8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban Konsumen
Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga diwajibkan untuk :
1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
2) beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3. Pengertian Pelaku Usaha, Hak dan Kewajibannya
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
a. Hak Pelaku Usaha
Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak untuk :
1) menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2) mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad baik;
3) melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4) rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban Pelaku Usaha
Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
1) beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif;
4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
6) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7) memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN
DALAM TRANSAKSI E COOMMERS
A. Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Transaksi E Commers
Menurut UU No 08 Tahun 1999 perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
B. Tanggung Gugat Pelaku Usaha (Merchant Website) dalam Transaksi E-Commerce dengan Sistem Business to Consumer
Tanggung gugat pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen diatur khusus dalam satu bab, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Dari sepuluh pasal tersebut, dapat dipilah sebagai berikut:
1. tujuh pasal, yaitu Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha;
2. dua Pasal, yaitu Pasal 22 dan Pasal 28 yang mengatur pembuktian;
3. satu Pasal, yaitu Pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen.
Dari tujuh pasal yang mengatur tanggung gugat pelaku usaha, secara prinsip dapat dibedakan lagi ke dalam:
1. Pasal 19 mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk; pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.
2. Pasal 20 diberlakukan bagi pelaku usaha periklanan untuk bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi, dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
3. Pasal 21 ayat (1) membebankan pertanggungjawaban kepada importir barang sebagaimana layaknya pembuat barang yang diimpor, apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. Pasal 21 ayat (2) mewajibkan importir jasa untuk bertanggungjawab sebagai penyedia jasa asing jika penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
4. Pasal 24 yang mengatur peralihan tanggung jawab dari satu pelaku usaha kepada pelaku usaha lainnya, mengatakan bahwa pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi”.
Jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut, maka tanggung gugat atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha lain yang telah melakukan perubahan tersebut.
5. Pasal 25 dan Pasal 26 berhubungan dengan layanan purna jual oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggungjawab sepenuhnya atas jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyediaan suku cadang atau perbaikan.
6. Pasal 27 merupakan Pasal “penolong” bagi pelaku usaha, yang melepaskannya dari tanggungjawab untuk memberikan ganti rugi pada konsumen. Pasal 27 tersebut secara jelas menyatakan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung gugat atas kerugian yang diderita konsumen, jika;
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tanggungjawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam transaksi e-commerce dapat berpedoman pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diatur secara khusus dalam satu bab, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Di samping itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 38 ayat (1) juga diberikan kemungkinan kepada konsumen untuk mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pihak pelaku usaha apabila konsumen menderita kerugian;
2. kecurangan rawan terjadi, kemudian bagaimana jika barang yang dipesan tidak sesuai dengan barang yang dikirimkan, atau bagaimana jika terjadi keterlambatan pengiriman barang sehingga barang sampai ke tangan konsumen melebihi batas waktu yang telah ditentutkan, kemana konsumen harus mengajukan protes.
B. Saran
1. Mengingat dalam transaksi Eccommers sangat rawan dengan kecurangan Sebagai upaya memberikan kepastian hukum kepada para pihak dalam transaksi e-commerce, hendaknya diatur secara tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan tentang transaksi e-commerce khususnya yang berkaitan dengan masalah hak ganti rugi bagi konsumen yang menderita kerugian.
2. Dalam transaksi Eccommers sangat rawan dengan kecurangan untuk itu pentingnya pengawasan dan dan perhatian khusus oleh para pihak guna memberikan prlindungan hukumbagi konsumen.

DAFTAR PUSTAKA
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung,
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
http://media.diknas.go.id/media/document/4567.pdf diakses tanggal 07 Januari 2009)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
Penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi.
Pada dasarnya tindakan medis yang dilakukan oleh pihak rumah sakit/dokter merupakan tindakan yang sangat mulia yaitu dengan segala upaya melakukan penyelamatan dan pertolongan terhadap pasien. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitakan tentang kasus gugatan/tuntutan hukum (perdata dan/atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pihak rumah sakit dan atau tenaga medis.
Berdasarkan uraian singkat diatas penulis tertarik untuk mengakaji mengenai PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN MEDIS.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis ?
2. Apa yang menjadi kendala-kendala perlindungan hukum bagi pasien jasa pelayanan medis ?
3. Bagaimana peran MKDI dalam pemberian perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa medis ?
C. Rumusan Masalah
1. perlindungan hokum bagi pasien sebagai jasa pelayanan medis;
2. peran MKDKI dalam perlindungan hukum bagi pasien jasa pelayanan medis;
3. kendala-kendala perlindungan hukum bagi pasien jasa pelayanan medis;
D. Tujuan Penulisan
1. Untuk memperoleh pengetahuan terkait perlindungan hokum terhadap pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis;
4. Untuk memperoleh informasi dan referensi mengenai peran MKDKI dan kendala-kendala yang dihadapi dalam perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis.
E. Keguanaan Penulisan
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hokum khususnya dalam perlindungan konsumen;
5. Menambah informasi dan referensi mengenai langkah-langkah peran MKDKI serta kendala-kendala yang dihadapi dalam perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis;
2. Memenuhi salah satu persyaratan lulus mata kuliah hokum perlindungan konsumen.
F. Metodelogi Penelitian
1. Obyek penelitian
Obyek pengamatan yakni perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis.
2. Sumber data
Sumber data yang dijadikan acuan yakni data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, diperoleh dengan mengkaji bahan-bahan pustaka.
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian pustaka melalui sumber tertulis yang terkai dengan apa yang menjadi pembahasan.
4. Analisa data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni data yang diperoleh akan dianalisa dengan cara memaparkan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas serta menguraikannya guna memberikan gambaran yang jelas.
BAB II
TINJAUAN UMUM KONSUMEN DAN
JASA PELAYANAN MEDIS
A. Tinjauan Umum Tentang Pasien
1. Definis pasien
Pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan. Menurut DR. Wila Chandrawila Supriadi, S.H, Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan pasien diartikan juga adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya.
Pada Pasal 1 ayat 10 Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
2. Hak dan kewajiban konsumen
Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan secara jelas mengenai hak dan kewajiban pasien, yakni:
a. Hak pasien
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
menolak tindakan medis; dan
mendapatkan isi rekam medis.
b. Kewajiban pasien
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban:
memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
B. Tinjauan Umum Tentang Tenaga Kesehatan
1. Definisi tenaga kesehatan
Tenaga Kesehatan menurut Pasal 1 ayat 6 Undang-undang No 36 tahun 2009 yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
2. Hak dan kewajiban Dokter dan Dokter Gigi
a. Hak Dokter atau Dokter Gigi
Dalam Pasal 50 Undang-undang No 36 tahun 2009 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
menerima imbalan jasa.
b. Kewajiban dokter atau dokter gigi
Pasal 51 Undang-undang No 36 tahun 2009 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
b. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
c. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
d. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
e. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
f. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN MEDIS DAN PERANAN MKDKI
A. Perlindungan Hukum Pasien
1. Pasal 56 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan
Dalam Pasal 56 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan dinyatakan secara tegas bahwa :
Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
a. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
gangguan mental berat.
2. Pasal 57 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan
Dalam Pasal 57 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan dinyatakan secara tegas bahwa :
a. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
b. Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
perintah undang-undang;
perintah pengadilan;
izin yang bersangkutan;
kepentingan masyarakat; atau
kepentingan orang tersebut.
3. Pasal 58 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan
Dalam Pasal 57 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan dinyatakan secara tegas bahwa :
a. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
b. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
c. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
B. Peranan MKDKI
1. Definisi MKDKI
Pasal 1 ayat 14, MKDKI merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang dilaksanakan berdasarkan suattu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dank ode etik yang bersifat melayani masyarakat.
2. Tugas MKDKI
Dalam Pasal 64 tugas MKDKI meliputi :
a. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan;
b. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasusu pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi.
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban etik dan disiplin profesinya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya. Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis secara hukum dijamin oleh undang-undang No. 23/ 1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah RI No. 32 / 1996 Tentang Tenaga Kesehatan dan KUH Perdata;
2. Kendala-kendala dalam perlindungan hukum terhadap sebagai konsumen jasa pelayanan medis diantaranya disebapkan ketidakjelasan mengenai standar operasional penanganan medis dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai aturan hukum;
3. MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika.
B. Saran
1. Adanya posisi yang tidak seimbang antara konsumen jasa pelayanan medis dengan pihak rumah sakit/dokter dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai hak-haknya sebagai konsumen. Maka perlu adanya perhatian khusus dari seluruh elemen bangsa dengan memperbanyak sosialisasi dan pengawasan khususnya bagi MKDKI;
2. perlindungan hukum terhadap pasien maupun perlindungan dan tanggung jawab tenaga kesehatan haruslah diatur dalam undang – undang tersendiri. Pengaturan khusus ini diperlukan baik untuk kepentingan pasien itu sendiri dan tenaga kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Hukum perlindungan konsumen di Indonesia, Janus Sidabalok, PT citra Aditya Bakti, Bandung 2006
Penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di Indonesia, Muhammad Mulyohadi Ali. Dkk2007
Sikap dokter dan profesi menghadapi gugatan malpraktik medis, Bilben Ahmad, Makalah, Bandung 2005
Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gunawan Widjaya & Yani Ahmad, 2000
Etika kedokteran indonesia dan penanganan pelanggaran etika di Indonesia, Budi Sampurna 2005
Undang-undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan
Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan pinancial, disamping kegiatan pembiayaan lainnya seperti leasing, factoring kartu kredit dan sebagainya. Target pasar dari model pembiayaan konsumen ini sudah jelas bahwa para konsumen. Suattu istilah yang dipakai sebagai lawan kata dari produsen. Pada pembiayaan konsumen besarnya biaya yang diberikan kepada konsumen relative kecil, mengingat barang yang dibidik untuk dibiayai secara konsumen ini adalah barang-barang keperluan konsumen yang akan dipakai untuk keperluan hidupnya.
Tidak besarnya biaya yang dikeluarkan dalam pembiayaan konsumen dan menyebarnya konsumen sehingga kmungkinan resiko relative lebih kecil, ibarat tidak menempatkan telur pada satu wadah. Namun demikian tidak berarti bahwa bisnis pembiayaan konsumen ini tidak punya resiko sama sekali. Seperti umumnya suattu pemberian kredit resiko tetap ada seperti misalnya macetnya pembayaran tunggakan oleh konsumen.
Bisnis pembiayaan konsumen beberapa tahun terakhir ini sangat digandrungi oleh masyarakat, sebab konsumen umunya sulit untuk mendapatkan akses untuk mendapat kredit bank. Hal ini dapat dipastikan bahwa bisnis pembiayaan konsumen akan terus berkembang sehingga dibutuhkan aturan hokum yang baik dan tentunya pengawasan dari pemerintah guna teciptanya iklim bisnis yang baik.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas penulis tertarik mencoba untuk mengkaji tentang PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip mengenal nasabah pada lembaga pembiayaan konsumen ?
2. Tujuan prinsip mengenal nasabah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memperoleh pengetahuan terkait prinsip mengenal nasabah pada lembaga pembiayaan konsumen;
2. Untuk memperoleh informasi dan referensi mengenai Hal-hal yang menjadi tujuan pripsip mengenal nasabah pada lembaga pembiayaan konsumen.
D. Keguanaan Penulisan
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hokum khususnya dalam hokum pembiayaan konsumen;
2. Menambah informasi dan referensi mengenai penerpan prinsip kehati-hatian pada pembiayaan konsumen;
3. Memenuhi salah satu persyaratan lulus mata kuliah hukum pembiayaan
E. Metodelogi Penulisan
1. Obyek penulisan
Pelaksanaan prinsip mengenal nasabah pada lembaga pembiayaan konsumen.
2. Sumber data
Sumber data yang dijadikan acuan yakni data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, diperoleh dengan mengkaji bahan-bahan pustaka.
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian pustaka melalui sumber tertulis yang terkai dengan apa yang menjadi pembahasan.
4. Analisa data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni data yang diperoleh akan dianalisa dengan cara memaparkan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas serta menguraikannya guna memberikan gambaran yang jelas.

BAB II
TINJAUAN UMUM LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN
DAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
A. Tinjauan Umum Lembaga Pembiayaan Konsumen
1. Definisi
Pranata hokum, pembiayaan konsumen dipakai sebagai penerjemahan dari istilah “Consumer Finance”. Pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis kredit kosumsi (consumer credit). Hanya saja jika pembiayaan konsumen dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sementara kredit konsumen diberikan oleh bank.
Namun pada Pasal 1 ayat 7 KEPRES No 09 Tahun 2009 Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.
Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya antara kredit konsumsi dengan pembiayaan konsumen sama saja. Hanya pihak pemberi kreditnya yang berbeda.
2. Sejarah
Lahirnya pemberian kredit dengan system pembiayaan konsumen ini sebenarnya sebagai jawaban atas kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
a) Bank sebagai sumber dana kurang tertarik/tidak cukup banyak dalam menyediakan kredit kepada konsumen, yang umumnya merupakan kredit-kredit berukuran kecil;
b) Sumber dana yang formal lainnya banyak keterbatasan atu sistemnya yang kurang fleksibel atau tidak sesuai dengan kebutuhan;
c) System pembiayaan informal seperti yang dilakukan oleh para lintah darat atau tengkulak sangat memberatkan kosumen.
d) System pembiayaan formal lewat koperasi tidak berkembang susuai dengan yang diharapkan.
3. Dasar Hukum
Yang menjadi dasar hokum dari pembiayaan konsumen dapat dibedakan kepada dasar hokum substantive dan dasar hokum administrative.
1. Dasar hokum substantive
Adapun yang menjadi dasar hokum substantive eksistensinya pembiayaan konsumen adalah perjanjian diantara para pihak berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata “asas kebebasan berkontrak”, yaitu perjanjian antara pihak perusahaan financial sebgai kreditur dan pihak konsumen sebagai debitur. Sejauh hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hokum yang berlaku, maka perjanjian tersebut adalah sah.
2. Dasar hokum administrative
Seperti halnya lembaga pembiayaan lainnya, maka pembiayaan konsumen ini mendapat dasar hokum dengan dikeluarkannya KEPRES No 09 Tahun 2009 tentang lembaga pembiayaan, dimana dijelaskan bahwa salah satu kegiatan lembaga pembiayaan tersebut adalah menyalurkan dana dengan system yang disebut pembiayaan konsumen.

4. Hubungan Para Pihak
Ada tiga pihak yang yang terlibat dalam suattu transaksi pembiayaan konsumen, yaitu pihak perusahaan pembiayaan, pihak konsumen dan piahak supplier. Hubungan satu asama lain dapat dilihat dalam gambar diagram berikut ini:

1. Hubungan Pihak Kreditur Dengan Konsumen
Hubungan antara pihak kreditur dengan pihak konsumen adalah hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan konsumen. Dimana pihak pemberi biaya sebgai kreditur dan pihak penerima biaya adalah konsumen sebagai pihak debitur. Pihak pemberi biaya berkewajiban utama untuk meberikan sejumlah uang untuk pembelian sesuattu brang konsumsi, sementara pihak penerima biaya (konsumen) berkewajiban utm\ama untuk membayar kembali uang tersebut secara cicilan kepada pihak pemberi biaya.
Jadi hubungan kontraktual antara pihak penyedia dana dengan pihak penerima dana disebut perjanjian kredit sehingga ketentuan yuridis yang berlaku adalah ketentuan tentang perjanjian kredit dalam KUH Perdata sedangkan perjanjian kredit yang diatur dalam perbankan secara yuridis formal tidak berlaku berhubung pihak pemberi biaya bukan bank.
2. Hubungan pihak konsumen dengan supplier
Hubungan antara konsumen dengan supplier terdapat suattu hubungan jual beli yakni jual beli bersyarat, dimana pihak supplier selaku penjual menjual barang kepada pihak konsumen sebagai pembeli, dengan syarat bahwa harga harga akan dibayarkan oleh pihak ketiga yaitu pihak pembiayaan konsumen.
Karena adanya perjanjian jual beli. Maka seluruh ketentuan tentang jual beli tentang yang relevan akan berlaku. Misalnya tentang adanya kewajiban menanggung dari pihak penjual, kewajiban purna jual (garansi) dan sebgainya.
3. Hubungan penyedia dana dan supplier
Dalam hal ini antara pihak penyedia dana (pemberi dana) dengan pihak supplier (penyedia barang) tidak mempunyai suattu hubungan hokum yang khusus, kecuali pihak penyedia dana hanya sebgai pihak ketiga yang disyaratkan, yaitu pihak yang disyaratkan untuk menyediakan dana untuk digunakan dalam perjanjian jual beli antara pihak supplier dengan pihak konsumen.
Jadi jika pihak penyedia dana wanprestasi dalam menyediakan dananya, sementara kontrak jual beli maupun kontrak pembiayaan konsuemn telah selesai dilakukan jual beli bersyarat antara pihak supplier dengan konsumen akan batal. Sementara piahak konsumen dapat menggugat pihak pemberi dana karena wanprestasi tersebut.
5. Jaminan-Jamina
Jamianan-jaminan yang diberikan dalam transaksi pembiayaan konsumen ini pada prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian kredit bank biasa, khususnya kredit konsumsi. Untuk itu dapat dibagi kedalam beberapa bagian, yaitu:
1. Jaminan utama
Sebagai suattu kredit, maka jaminan pokoknya adalah kepercayaan kreditur kepada deitur (konsumen), bahwa pihak konsumen dapat dipercayadan sanggup mebayar hutang-hutangnya. Jadi disini prinsip-prinsip pemberian berlaku prinsip 5C.
2. Jaminan pokok
Sebagai jaminan pokok terhadap transaksi pembiayaan konsumen adalah barang yang dibeli dengan dana tersebut.jika dana tersebut diberikan misalnya untuk membeli mobil maka mobil yang bersangkutan yang menjadi jaminan, bisanya jaminan dalam bentuk pidusia.
Dengan adanya piducia maka biasanya seluruh dokumen yang berkenaan dengan kepemilikan barang yang bersangkutan akan dipegang oleh puhak kreditur (pemberi dana) hingga kredit tersebut telah lunas.
3. Jaminan tambahan
Sering juga dimintakan jaminan tambahan terhadap transaksi pembiyaan konsumen ini, walaupun tidak seketat jaminan untuk pemberian kredit bank. Biasanya jaminan tambahan terhadap transaksi seperti yang berupa pengakuan hutang, kuasa menjual barang, disamping itu sering juga dimintakan persetujuan istri untuk konsumen pribadi dan peresetujuan komisaris/RUPS untuk konsumen perusahaan, sesuai dengan anggaran dasarnya.
6. Dokumentasi
Ada beberapa jenis dokumentasi yang biasanya diperlukan dalam pembiyaan konsumen diantaranya :
1. Dokumen pendahuluan
2. Dokumen pokok
3. Dokumen jaminan
4. Dokumen kepemilikan barang
5. Dokumen pemesanan dan penyerahan barang dan
6. Supporting dokumen.
B. Tinjauan Umum Prinsip Mengenal Nasabah
1. Definisi
Pada tanggal 30 Januari 2003 Menteri Keuangan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 yang mengatur tentang kewajiban Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) untuk menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (PMN) atau yang biasa disebut dengan Know Your Customer Principles (KYC).
2. Tujuan
a) sebagai upaya untuk menciptakan industri keuangan non bank yang sehat
b) sebagai upaya untuk menciptakan industri keuangan non bank yang berstandar internasional
c) terlindungi dari kemungkinan disalahgunakan untuk kejahatan keuangan, termasuk pencucian uang, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan.
3. Penjabaran PMN
PMN dapat dijabarkan ke dalam beberapa hal berikut:
a) menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah:
b) menetapkan kebijakan dan prosedur dalam identifikasi Nasabah;
c) menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah; dan
d) menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan Prinsip Mengenal Nasabah.
4. Karakteristrik transaksi yang mencurigakan
Ciri utama transaksi yang mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari Nasabah yang bersangkutan dan atau yang menggunakan dana yang diduga berasal dari kejahatan.

BAB III
PELAKSANAAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN
A. Pendahuluan Kebijakan
Penerapan kebijakan dan prosedur tersebut di atas bertujuan agar setiap LKNB dapat mengenali profil nasabahnya sehingga pada gilirannya LKNB dapat mengidentifikasi transaksi yang mencurigakan (suspicious transactions) dan melaporkan kepada Menteri Keuangan sampai dengan diberlakukannya ketentuan tentang Pelaporan Transaksi yang mencurigakan yang dikeluarkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan selanjutnya dilaporkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) setelah ketentuan dimaksud diberlakukan. (Keputusan DJLK Nomor: Kep-2833/LK/2003).
Dalam rangka Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh Perusahaan Pembiayaan dapat dilakukan dengan 2 kebijakan yang harus dijabarkan, yaitu:
1. Kebijakan pengorganisasian
Kebijakan pengorganisasian mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Pembentukan unit kerja prinsip mengenal nasabah (UKPN) dan struktur organisasi
Guna pelaksanaan Pedoman Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Perusahaan Pembiayaan wajib membentuk Unit Kerja Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang disingkat UKPN yang berkedudukan di Kantor Pusat. UKPN Ini merupakan tanggung jawab langsung Direktur Utama. Untuk Perusahaan Pembiayaan, UKPN dapat didelegasikan kepada satu atau beberapa orang staf yang ditugaskan untuk itu, disamping tugas-tugas rutinnya sesuai dengan struktur organisasi.
Untuk masing-masing kantor cabang, Pimpinan Kantor Cabang harus menunjuk seorang pejabat di kantor cabang masing-masing yang diberi tambahan tugas sebagai Petugas PMN di Kantor Cabang tersebut yang berfungsi sebagai koordinator penerapan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah di Kantor Cabang dibawah koordinasi UKPN.
2. Tugas UKPN
i. Menyusun dan memelihara Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
ii. Memastikan adanya pengembangan sistem dan prosedur identifikasi Nasabah dan transaksi yang mencurigakan, termasuk memastikan bahwa formulir yang berkaitan dengan Nasabah telah mencakup item data yang diharuskan oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003;
iii. Memantau pengkinian data dan profit Nasabah sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003;
iv. Melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh unit-unit kerja terkait;
v. Menerima dan melakukan analisis atas laporan transaksi yang mencurigakan yang disampaikan oleh unit-unit kerja terkait;
3. Perusahaan pembiayaan
i. Menyusun laporan transaksi yang mencurigakan yang akan disampaikan kepada Menteri Keuangan atau PPATK;
ii. Memantau, menganalisis dan merekomendasi kebutuhan pelatihan tentang Prinsip Mengenal Nasabah bagi para pejabat, pegawai Perusahaan Pembiayaan.
4. Tugas PMN di kantor cabang
i. Mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan sistem dan prosedur identifikasi Nasabah dan transaksi yang mencurigakan di Kantor Cabang yang bersangkutan;
ii. Mengkoordinasikan pengkinian data dan profit Nasabah di Kantor Cabang yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003;
iii. Menerima dan melakukan analisis atas laporan transaksi yang mencurigakan yang disampaikan oleh pegawai di Kantor Cabang; Meneruskan laporan transaksi yang mencurigakan kepada UKPN di Kantor Pusat;
iv. Mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan pelatihan tentang Prinsip Mengenal Nasabah bagi para pejabat, pegawai dan di Kantor Cabang.
5. Tugas direksi
i. Menetapkan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
ii. Memantau pelaksanaan tugas UKPN;
iii. Memastikan bahwa Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah telah diterapkan dan dilaksanakan oleh unit-unit kerja terkait secara konsisten;
iv. Melaporkan transaksi yang mencurigakan yang telah disusun oleh UKPN kepada Menteri Keuangan atau PPATK.
6. Tugas dewan direksi
i. Menyetujui Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
ii. Mengawasi pelaksanaan Pedoman tersebut oleh seluruh jajaran Perusahaan Pembiayaan.
B. Kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah
Kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah meliputi hai-hal sebagai berikut:
1. Kebijakan Penerimaan dan Identifikasi Nasabah.
Untuk menjadi Nasabah Perusahaan Pembiayaan, calon Nasabah harus melengkapi data sebagaimana yang ditentukan dalam formulir aplikasi dengan dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana mestinya. Perusahaan Pembiayaan wajib menolak calon Nasabah yang tidak memenuhi kelengkapan data dan dokumen pendukung yang ditentukan dan atau yang diragukan kebenarannya.
2. Kebijakan pemantauan dan pelaporan
Dokumen yang berkaitan dengan identitas Nasabah Perusahaan Pembiayaan, termasuk perantara dan atau pihak lain (beneficial owner), disimpan sampai dengan jangka waktu 5 (lima) tahun sejak perikatan dengan Nasabah diakhiri. Sistem informasi Perusahaan Pembiayaan harus dapat menyediakan profil Nasabah yang sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai:
a) Identilas Nasabah;.
b) Pekerjaan atau bidang usaha;
c) Jumlah penghasilan;
d) Rekening yang dimiliki;
e) Aktivitas transaksi normal; dan
f) Tujuan penggunaan dana.
Pelaporan transaksi yang mencurigakan bagi Perusahaan Pembiayaan adalah bersifat rahasia dan pejabat, pegawai dan Perusahaan Pembiayaan wajib merahasiakan pelaporan transaksi yang mencurigakan tersebut.
3. Kebijakan manejemen resiko
Kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan Prinsip Mengenal Nasabah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan prosedur manajemen risiko LKNB secara keseluruhan. Dalam melakukan audit, Internal Auditor Perusahaan Pembiayaan harus mengevaluasi kepatuhan unit-unit kerja Perusahaan Pembiayaan terhadap Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah.
Program pelatihan Prinsip Mengenai Nasabah dilaksanakan sesuai dengan usulan UKPN dan dilakukan secara berkala dan berkesinambungan untuk meningkatkan kemampuan pejabat, pegawai Perusahaan Pembiayaan dalam penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
4. Prosedur-prosedur
a) prosedur penerimaan dan identifikasi nasabah.
Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Perusahaan Pembiayaan harus dilakukan sejak proses registrasi/penerimaan Nasabah baru dan dilanjutkan secara berkesinambungan selama Nasabah tersebut menjadi Nasabah Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. Proses penerimaan sampai disahkannya Nasabah Perusahaan Pembiayaan harus melalui tahap-tahap sebagai berikut:
i. prosedur penerimaan nasabah
Penerimaan Nasabah baru atau Nasabah lama untuk perikatan baru menggunakan formulir aplikasi standar yang berlaku. Formulir ini telah dievaluasi oleh UKPN untuk memastikan bahwa data yang diperlukan untuk keperluan PMN telah terakomodasi dalam formulir tersebut.
ii. Prosedur identifikasi dan penelitian
Berdasarkan dokumen pendukung yang telah disampaikan oleh calon Nasabah, petugas front liner Perusahaan Pembiayaan wajib meneliti kebenaran dan keabsahan dokumen pendukung tersebut dengan cara:
mencocokkan dokumen pendukung tersebut dengan dokumen aslinya.
pada waktu melihat dokumen aslinya, agar dilihat dan diyakini bahwa dokumen asli tersebut bentuknya tidak meragukan.
bila diperlukan, lakukan wawancara dengan calon Nasabah sesuai dengan prosedur pengisian formulir aplikasi yang berlaku.
iii. Prosedur persetujuan penerimaan calon nasabah
Persetujuan diberikan oleh pejabat Perusahaan Pembiayaan sesuai dengan jenjang kewenangan yang ditetapkan dalam prosedur yang berlaku setelah meyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen calon Nasabah.
Persetujuan terhadap penerimaan calon Nasabah yang tergolong dalam risiko tinggi atau yang transaksinya agak mirip dengan salah satu contoh transaksi yang mencurigakan diberikan oleh pejabat Perusahaan Pembiayaan yang memiliki kewenangan satu tingkat lebih tinggi dari pejabat yang berwenang dalam memberikan persetujuan penerimaan Nasabah biasa.
iv. prosedur pemantauan dan pelaporan
Setelah Nasabah resmi diterima, maka Perusahaan Pembiayaan berkewajiban untuk membuat dan memelihara dokumentasi Nasabah yang bersangkutan sebaik baiknya. Bahkan yang lebih penting lagi adalah bahwa Perusahaan Pembiayaan berkewajiban untuk, melaporkan apabila terdapat transaksi yang mencurigakan.
v. Prosedur dokumen profil nasabah
Data base profil Nasabah mencakup sekurang-kurangnya data identitas, pekerjaan/bidang usaha, jumlah penghasilan, perikatan yang dimiliki, aktivitas transaksi normal dan tujuan pembukaan perikatan. Penyimpanan dan akses data mengikuti prosedur sistem informasi Perusahaan Pembiayaan yang berlaku.
Data base tersebut wajib dikinikan bila terdapat informasi baru mengenai data Nasabah. Pengkinian tersebut dimaksudkan untuk membantu melakukan analisis dan penelusuran transaksi secara individual untuk keperluan intern LKNB dan keperluan regulator atau PPATK.
vi. Prosedur pemantauan rekening dan identifikasi dan transaksi
Perusahaan Pembiayaan mengembangkan sistern pemantauan yang dapat dilakukan baik secara manual ataupun otomatisasi agar memungkinkan petugas Perusahaan Pembiayaan untuk mengidentifikasi transaksi yang mencurigakan. Dalam melakukan tugas operasional sehari-hari petugas Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan pemantauan dan melaporkan kegiatan yang mencurigakan untuk dievaluasi lebih lanjut.
Petugas Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pemantauan wajib menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi rekening dan transaksi Nasabah, baik yang dilaporkan maupun yang tidak dilaporkan kepada Menteri Keuangan. Hasil pemantauan dan evaluasi tidak perlu dilaporkan kepada Menteri Keuangan apabila petugas Perusahaan Pembiayaan tldak dapat meyakini bahwa transaksi tersebut merupakan transaksi yang mencurigakan.
vii. Prosedur identifikasi transaksi yang mencurikan
Suatu transaksi dikategorikan mencurigakan (suspicious transaction) apabila:
transaksi tersebut tidak normal atau tidak sesuai dengan karakteristik dan profil Nasabah;
transaksi tersebut diduga terkait dengan hasil kejahatan; dan
tidak dapat diyakini kewajarannya oleh petugas Perusahaan Pembiayaan setelah dilakukan verifikasi lebih lanjut.
viii. Prosedur Pelaporan Internal Dan Pelaporan Kepada Menteri Keuangan atau PPATK
Bilamana diidentifikasi adanya transaksi yang mencurigakan yaitu suatu transaksi yang sesuai dengan daftar contoh transaksi yang mencurigakan yang diedarkan oleh manajemen Perusahaan Pembiayaan, maka:
Petugas frontliner atau back office yang mengidentifikasi transaksi yang mencurigakan tersebut harus segera melaporkannya kepada manajer yang menjadi atasan masing-masing.
Manajer yang menerima laporan transaksi yang mencurigakan dari petugas front liner atau back office harus memastikan bahwa transaksi yang dilaporkan tersebut sesuai dengan salah satu contoh transaksi yang mencurigakan dalam lampiran pedoman Ini. Apabila transaksi tersebut dipastikan sesuai dengan contoh transaksi yang mencurigakan dalam lampiran pedoman ini, manajer harus segera menyampaikannya kepada UKPN (untuk di kantor pusat) atau kepada Pejabat Kantor Cabang yang telah ditunjuk oleh Pimpinan Kantor Cabang (untuk di kantor cabang). Pejabat Kantor Cabang yang telah ditunjuk oleh Pimpinan Kantor Cabang harus segera meneruskan laporan transaksi yang mencurigakan tersebut kepada UKPN. Dalam hal laporan yang diterima dad petugas front Iiner atau back office dipandang bukan sebagai transaksi yang mencurigakan, manajer atau Pejabat Kantor Cabang harus memberikan Catatan tertulis pada laporan tersebut.
Alas laporan transaksi yang mencurigakan yang telah diterima oleh UKPN, UKPN harus mengevaluasi untuk memastikan bahwa transaksi tersebut termasuk transaksi yang mencurigakan dan perlu dilaporkan kepada Menteri Keuangan atau PPATK. Dalam hal transaksi tersebut dinyatakan mencurigakan, maka UKPN menyiapkan laporan transaksi yang mencurigakan dengan mengikuti format sesuai dengan lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003. Laporan transaksi yang mencurigakan tersebut selanjutnya disampaikan kepada Direksi untuk mendapatkan persetujuan.
Direksi harus mempelajari laporan transaksi yang mencurigakan yang diterima dari UKPN untuk memutuskan apakah laporan tersebut perlu dilaporkan Menteri Keuangan atau PPATK.
5. Dokumen pendukung yang harus ada untuk keperluan PMN
1. Perseroan Terbatas
a) Akta Pendirian dan perubahannya
b) Anggaran Dasar Perusahaan
c) SK Persetujuan Pendirian PT dari Menteri Kehakiman
d) SIUP
e) NPW
f) TDP
2. Pemegang Kuasa:
a) WNI: KTP, SIM, Paspor dan Surat Kuasa
b) WNA: Paspor, KIMS, KITAS dan Surat Kuasa
3. Pribadi;
a) WNI: KTP, SIM atau Paspor
b) WNA: Paspor, KIMS, KITAS, KITAP
c) NPWP, apabila sudah mempunyai.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada Pasal 1 ayat 7 KEPRES No 09 Tahun 2009 Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran
2. Pada tanggal 30 Januari 2003 Menteri Keuangan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 yang mengatur tentang kewajiban Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) untuk menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (PMN) atau yang biasa disebut dengan Know Your Customer Principles (KYC).
3. Penjabaran pelaksanaan prinsip mengenal nasabah meliputi : menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah, menetapkan kebijakan dan prosedur dalam identifikasi Nasabah; menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah; dan menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan Prinsip Mengenal Nasabah.
4. Tujuan penerapan prinsip prinsip mengenal nasabah yaitu: sebagai upaya untuk menciptakan industri keuangan non bank yang sehat, sebagai upaya untuk menciptakan industri keuangan non bank yang berstandar internasional, terlindungi dari kemungkinan disalahgunakan untuk kejahatan keuangan, termasuk pencucian uang, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan.


B. Saran
1. Pada hakekatnya pencantuman klausula baku tidak bertentangan dengan UUPK selama klausula baku tersebut tidak merugikan konsumen. Untuk itu diharapkan kepada lembaga pembiayaan konsumen didalam melaksanakan prinsip mengenal nasabah dan atau prinsip kehati-hatian harus tetap sesuai peraturan yang berlaku.
2. Fungsi-fungsi pengawasan diharapkan dalam melaksanakan wewenangnya secara professional guna memberikan perlindungan baik kepada konsumen maupun lembaga pembiayaan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Munir Fuady, SH., MH., LLM. Hokum tentang pembiayaan dalam teori dan praktek 2002
Sunaryo, SH.,MH., Hukum Lembaga Pembiayaan 2008
Keputusan DJLK Nomor: Kep-2833/LK/2003 tentang Petunjuk PenyusunanPedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Kepres No 09 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan

Kamis, 03 September 2009

Pandangan dan keyakinan orang bugis dengan falsafah dan spirit airnya yang nyata kita lihat sehari-hari adalah:

1. Kalau sudah di air (ditengah laut) dimana berpegang bilamana badai datang, orang bugis sebelum berlayar faham betul bahwa kalau sudah ditengah laut hanya satu pegangan, Allah SWT, jadi kemana-mana tidak pernah takut yang ditakuti hanyalah Allah yang punya jiwa dan raga yang melekat pada diri orang Bugis.
Begitu layar terkembang perahu mengarungi samudera luas tak bertepi, perjuangan mempertahankan hidup, ikhtiar dengan pengetahuan perbintangan, pengalaman melewati angin dan ombak, menarik layar ditengah belantara dan buasnya badai ditengah laut, setelah ikhtiar, usaha usai, kepada siapa lagi berpegang, hanya Allah yang ada disanubari. Dalam kehidupan sehari-hari diaplikasikan didarat dengan perjuangan menghidupi dan mempertahankan hidup dan keluarga, setiap mengais rezeki tidak pernah lupa pada sandaran hidupnya yaitu Allah SWT.

2.Air ditaruh dimana saja membentuk seperti tempatnya, taruh di baskom membentuk baskom, taruh dibejana bundar membentuk bejana, taruh dikolam bentuk segiempat, artinya orang Bugis selalu menyesuaikan diri dimana dia tinggal sehingga diterima dengan baik oleh lingkungan sekitarnya. = dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung

3. air memberikan kesegaran bilamana diolah dengan baik, untuk diminum dengan memasak atau disterilkan lebih dahulu, mengairi sawah dan ladang dengan bendungan yang baik dan lain-lain, artinya orang Bugis dengan falsafah air, bilamana diperlakukan dengan baik maka akan memberikan manfaat pada lingkungan sekitarnya, win-win solution, mereka diberi tempat maka akan membayar mahal pemberian itu bahkan nyawa taruhannya dengan menjadi laskar dan balatentara perang.

4. sebaliknya air juga bisa menjadi bencana dengan banjir bilamana tumpukan sampah menyumbat alirannya, hutan dibabat sehingga tidak ada penahan dan erosi yang tumpah ke sungai. Sama halnya orang Bugis kalau diperlakukan tidak senonoh maka sifat siri na pacce yang ada pada diri setiap orang Bugis secara naluri bangkit dan kadang kawali akan berbicara sampai ajal menjemput untuk memperjuangkan keyakinan siri na pacce.

Orang bugis secara turun temurun sebelum meninggalkan tanah Bugis, orangtua membekali segenggam tanah yang diambil di belakang rumah, begitu sampai ditempat perantauan, tanah tersebut disebar dan disatukan dengan tanah tempat ditinggali, artinya bahwa orang bugis menyatukan dua tanah yang menghasilkan sandang, pangan dan papan yang melekat dan mengalir dalam tubuhnya yang diambil dari saripati tempatnya dia pijak.

Kalau pepatah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung kadang hanyalah sebatas ungkapan atau lips service belaka, maka kalau orang Bugis falsafah dan spirit air, dimana dia berada jadilah air yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar, tapi juga ada batasan dan rambu-rambu yang menjadi komitmen moril, aja mupakasiri'i

Jumat, 28 Agustus 2009

PROSES IMPEACHMENT DI MK

1). Pemohon adalah DPR-RI
2). Objek permohonan adalah hasil rapat DPR atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden yang dianggap melanggar pasal 7 UUD 1945
3). Syarat permohonan :
a. Syarat Formil
-Legal Standing
-Masalah tersebut adalah kewenangan MK yang telah diatur dalam UU
-Tindakan DPR sudah sesuai dengan prosedur
*Keputusan DPR
*Risakah sidang (melalui rapat/sidang paripurna maupun rapat pansus)
*Berita Acara (secara tertulis)
3).Bukti-bukti yang cukup
4).Pemeriksaan pendahuluan (melalui sidang panel hakim MK)
5). sidang Pemeriksaan (Proses pemeriksaan di MK adalah 90 hari setelah permohonan didaftarkan dalam BRPK)
6). Pembuktian
7). Putusan (ditolak,tidak dapat diterima)
8). Jika MK membenarkan pendapat DPR, maka DPR melanjutkan kepada MPR
MEKANISME IMPEACHMENT DI MPR-RI


1).“30 hari setelah keputusan mahkamah konstitusi membenarkan pendapat DPR-RI, maka MPR wajib menggelar siding paripurna membahas putusan MK”

2)SIDANG PARIPURNA MPR-RI
“Presiden dan Wakil Presiden Wajib Hadir Untuk Memberikan Penjelasan Tidak Dapat di Wakili”

3)Syarat Sah Putusan MPR :
Rapat Paripurna Harus Memenuhi Kuorum (Rapat Paripurna dihadiri sekurang-kurangnya ¾ anggota Majelis)"

4)Disetujui :
Disetujui Oleh Sekurang-Kurangnya 2/3 Anggota Majelis Yang Hadir