Jumat, 15 Januari 2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum (Penjelasan UU Nomor 11 Tahun 2009).
Dalam hal mengenai perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce, bahwa dari sudut kepentingan konsumen, transaksi melalui internet atau e-commerce sangat rawan dengan kecurangan. Masalah hukum yang menyangkut perlindungan konsumen makin mendesak dalam hal seorang melakukan transaksi e-commerce dengan merchant website di luar negeri.
Dengan jarak jual beli yang demikian jauh, kecurangan rawan terjadi, kemudian bagaimana jika barang yang dipesan tidak sesuai dengan barang yang dikirimkan, atau bagaimana jika terjadi keterlambatan pengiriman barang sehingga barang sampai ke tangan konsumen melebihi batas waktu yang telah ditentutkan, kemana konsumen harus mengajukan protes, sedangkan sebagian besar konsumen hanya mengetahui alamat domain name-nya saja dari produsen.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan mengenai PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hokum bagi konsumen dalam transaksi E-commerce?
2. Motif kecurangan dalam transaksi E-commerce?
A. Tujuan Penulisan
1. Untuk memperoleh pengetahuan terkait perlindungan hokum terhadap konsumen dalam transaksi E-commerce
2. Untuk memperoleh informasi dan referensi mengenai kendala-kendala dalam upaya perlindungan hokum bagi konsumen dalam transaksi E-commerce
B. Keguanaan Penulisan
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hokum khususnya dalam perlindungan konsumen;
2. Memenuhi salah satu persyaratan lulus mata kuliah hokum perlindungan konsumen.
C. Metodelogi Penulisan
1. Obyek penulisan
Obyek pengamatan yakni dalam hal perlindungan hokum bagi konsumen dalam transaksi E-commerce
2. Sumber data
Sumber data yang dijadikan acuan yakni data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, diperoleh dengan mengkaji bahan-bahan pustaka.
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian pustaka melalui sumber tertulis yang terkai dengan apa yang menjadi pembahasan.
4. Analisa data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni data yang diperoleh akan dianalisa dengan cara memaparkan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas serta menguraikannya guna memberikan gambaran yang jelas.

BAB II
TINJAUAN UMUM
TRANSAKSI E-COMMERCE DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Tinjauan Umum Transaksi E-Commerce
1. Pengertian dan Dasar Hukum Transaksi E-Commerce
E-Commerce adalah perdagangan yang menggunakan mekanisme elektronik yang ada dijaringan internet, oleh sebab itu bila dibahas aspek hukum tentang E-Commerce maka pembicaraan tetap akan membahas tentang hukum internet. Maka dalam konteks ini pula maka aspek hukum yang melekat terhadap mekanisme E-Commerce adalah berinteraksi dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak yang melakukan transaksi melalui sistem E-Commerce. (http://media.diknas.go.id/media/document/4567.pdf, diakses tanggal 07 Januari 2009)
2. Dasar Hukum
Mengenai transaksi jual beli secara elektronik, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut :
a. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
b. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur mengenai kewajiban-kewajiban pelaku usaha, dalam hal ini penjual yang menawarkan dan menjual suatu produk, yaitu :
a. beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.
Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur pula mengenai beberapa perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha/penjual, antara lain pelaku usaha/penjual dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal daluwarasa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halan yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3. Para-pihak dalam Transaksi E-Commerce
Transaksi e-commerce melibatkan beberapa pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang dilakukan. Artinya apakah semua proses transaksi dilakukan secara online atau hanya beberapa tahap saja yang dilakukan secara online. Apabila seluruh transaksi e-commerce dilakukan secara online, mulai dari proses terjadinya transaksi sampai dengan pembayaran, (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, hlm. 152)
4. Mekanisme Transaksi E-Commerce
Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli biasa di dunia nyata. Pelaksanaan transaksi jual beli secara elektronik ini dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut :
1) Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui websitepada internet. Pembayaran, dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung;
2) Pembayaran dua pihak tanpa perantara;
3) Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga;
4) Pengiriman,
B. Perlindungan Konsumen
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli : (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat”.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), misalnya tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritim, ketentuan-ketentuan mengenai perantara, asuransi, surat berharga, kepailitan dan sebagainya.
Perlindungan konsumen atas pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini, karena selain sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 13 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun tentang Merek,
2. Pengertian Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakain barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha.
Berikut ini adalah hak dan kewajiban konsumen yang diberikan/dibebankan oleh undang-undang tentang perlindungan konsumen :
a. Hak Konsumen
Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang No 08 tahun 1999 Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak sebagai berikut :
1) hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur serta tidak diskriminatif;
8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban Konsumen
Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga diwajibkan untuk :
1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
2) beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3. Pengertian Pelaku Usaha, Hak dan Kewajibannya
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
a. Hak Pelaku Usaha
Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak untuk :
1) menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2) mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad baik;
3) melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4) rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban Pelaku Usaha
Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
1) beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif;
4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
6) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7) memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN
DALAM TRANSAKSI E COOMMERS
A. Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Transaksi E Commers
Menurut UU No 08 Tahun 1999 perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
B. Tanggung Gugat Pelaku Usaha (Merchant Website) dalam Transaksi E-Commerce dengan Sistem Business to Consumer
Tanggung gugat pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen diatur khusus dalam satu bab, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Dari sepuluh pasal tersebut, dapat dipilah sebagai berikut:
1. tujuh pasal, yaitu Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha;
2. dua Pasal, yaitu Pasal 22 dan Pasal 28 yang mengatur pembuktian;
3. satu Pasal, yaitu Pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen.
Dari tujuh pasal yang mengatur tanggung gugat pelaku usaha, secara prinsip dapat dibedakan lagi ke dalam:
1. Pasal 19 mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk; pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.
2. Pasal 20 diberlakukan bagi pelaku usaha periklanan untuk bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi, dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
3. Pasal 21 ayat (1) membebankan pertanggungjawaban kepada importir barang sebagaimana layaknya pembuat barang yang diimpor, apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. Pasal 21 ayat (2) mewajibkan importir jasa untuk bertanggungjawab sebagai penyedia jasa asing jika penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
4. Pasal 24 yang mengatur peralihan tanggung jawab dari satu pelaku usaha kepada pelaku usaha lainnya, mengatakan bahwa pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi”.
Jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut, maka tanggung gugat atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha lain yang telah melakukan perubahan tersebut.
5. Pasal 25 dan Pasal 26 berhubungan dengan layanan purna jual oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggungjawab sepenuhnya atas jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyediaan suku cadang atau perbaikan.
6. Pasal 27 merupakan Pasal “penolong” bagi pelaku usaha, yang melepaskannya dari tanggungjawab untuk memberikan ganti rugi pada konsumen. Pasal 27 tersebut secara jelas menyatakan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung gugat atas kerugian yang diderita konsumen, jika;
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tanggungjawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam transaksi e-commerce dapat berpedoman pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diatur secara khusus dalam satu bab, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Di samping itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 38 ayat (1) juga diberikan kemungkinan kepada konsumen untuk mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pihak pelaku usaha apabila konsumen menderita kerugian;
2. kecurangan rawan terjadi, kemudian bagaimana jika barang yang dipesan tidak sesuai dengan barang yang dikirimkan, atau bagaimana jika terjadi keterlambatan pengiriman barang sehingga barang sampai ke tangan konsumen melebihi batas waktu yang telah ditentutkan, kemana konsumen harus mengajukan protes.
B. Saran
1. Mengingat dalam transaksi Eccommers sangat rawan dengan kecurangan Sebagai upaya memberikan kepastian hukum kepada para pihak dalam transaksi e-commerce, hendaknya diatur secara tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan tentang transaksi e-commerce khususnya yang berkaitan dengan masalah hak ganti rugi bagi konsumen yang menderita kerugian.
2. Dalam transaksi Eccommers sangat rawan dengan kecurangan untuk itu pentingnya pengawasan dan dan perhatian khusus oleh para pihak guna memberikan prlindungan hukumbagi konsumen.

DAFTAR PUSTAKA
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung,
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
http://media.diknas.go.id/media/document/4567.pdf diakses tanggal 07 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar