Jumat, 15 Januari 2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
Penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi.
Pada dasarnya tindakan medis yang dilakukan oleh pihak rumah sakit/dokter merupakan tindakan yang sangat mulia yaitu dengan segala upaya melakukan penyelamatan dan pertolongan terhadap pasien. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitakan tentang kasus gugatan/tuntutan hukum (perdata dan/atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pihak rumah sakit dan atau tenaga medis.
Berdasarkan uraian singkat diatas penulis tertarik untuk mengakaji mengenai PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN MEDIS.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis ?
2. Apa yang menjadi kendala-kendala perlindungan hukum bagi pasien jasa pelayanan medis ?
3. Bagaimana peran MKDI dalam pemberian perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa medis ?
C. Rumusan Masalah
1. perlindungan hokum bagi pasien sebagai jasa pelayanan medis;
2. peran MKDKI dalam perlindungan hukum bagi pasien jasa pelayanan medis;
3. kendala-kendala perlindungan hukum bagi pasien jasa pelayanan medis;
D. Tujuan Penulisan
1. Untuk memperoleh pengetahuan terkait perlindungan hokum terhadap pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis;
4. Untuk memperoleh informasi dan referensi mengenai peran MKDKI dan kendala-kendala yang dihadapi dalam perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis.
E. Keguanaan Penulisan
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hokum khususnya dalam perlindungan konsumen;
5. Menambah informasi dan referensi mengenai langkah-langkah peran MKDKI serta kendala-kendala yang dihadapi dalam perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis;
2. Memenuhi salah satu persyaratan lulus mata kuliah hokum perlindungan konsumen.
F. Metodelogi Penelitian
1. Obyek penelitian
Obyek pengamatan yakni perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis.
2. Sumber data
Sumber data yang dijadikan acuan yakni data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, diperoleh dengan mengkaji bahan-bahan pustaka.
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian pustaka melalui sumber tertulis yang terkai dengan apa yang menjadi pembahasan.
4. Analisa data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni data yang diperoleh akan dianalisa dengan cara memaparkan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas serta menguraikannya guna memberikan gambaran yang jelas.
BAB II
TINJAUAN UMUM KONSUMEN DAN
JASA PELAYANAN MEDIS
A. Tinjauan Umum Tentang Pasien
1. Definis pasien
Pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan. Menurut DR. Wila Chandrawila Supriadi, S.H, Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan pasien diartikan juga adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya.
Pada Pasal 1 ayat 10 Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
2. Hak dan kewajiban konsumen
Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan secara jelas mengenai hak dan kewajiban pasien, yakni:
a. Hak pasien
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
menolak tindakan medis; dan
mendapatkan isi rekam medis.
b. Kewajiban pasien
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban:
memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
B. Tinjauan Umum Tentang Tenaga Kesehatan
1. Definisi tenaga kesehatan
Tenaga Kesehatan menurut Pasal 1 ayat 6 Undang-undang No 36 tahun 2009 yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
2. Hak dan kewajiban Dokter dan Dokter Gigi
a. Hak Dokter atau Dokter Gigi
Dalam Pasal 50 Undang-undang No 36 tahun 2009 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
menerima imbalan jasa.
b. Kewajiban dokter atau dokter gigi
Pasal 51 Undang-undang No 36 tahun 2009 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
b. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
c. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
d. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
e. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
f. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN MEDIS DAN PERANAN MKDKI
A. Perlindungan Hukum Pasien
1. Pasal 56 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan
Dalam Pasal 56 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan dinyatakan secara tegas bahwa :
Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
a. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
gangguan mental berat.
2. Pasal 57 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan
Dalam Pasal 57 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan dinyatakan secara tegas bahwa :
a. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
b. Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
perintah undang-undang;
perintah pengadilan;
izin yang bersangkutan;
kepentingan masyarakat; atau
kepentingan orang tersebut.
3. Pasal 58 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan
Dalam Pasal 57 undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan dinyatakan secara tegas bahwa :
a. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
b. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
c. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
B. Peranan MKDKI
1. Definisi MKDKI
Pasal 1 ayat 14, MKDKI merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang dilaksanakan berdasarkan suattu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dank ode etik yang bersifat melayani masyarakat.
2. Tugas MKDKI
Dalam Pasal 64 tugas MKDKI meliputi :
a. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan;
b. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasusu pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi.
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban etik dan disiplin profesinya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya. Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis secara hukum dijamin oleh undang-undang No. 23/ 1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah RI No. 32 / 1996 Tentang Tenaga Kesehatan dan KUH Perdata;
2. Kendala-kendala dalam perlindungan hukum terhadap sebagai konsumen jasa pelayanan medis diantaranya disebapkan ketidakjelasan mengenai standar operasional penanganan medis dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai aturan hukum;
3. MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika.
B. Saran
1. Adanya posisi yang tidak seimbang antara konsumen jasa pelayanan medis dengan pihak rumah sakit/dokter dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai hak-haknya sebagai konsumen. Maka perlu adanya perhatian khusus dari seluruh elemen bangsa dengan memperbanyak sosialisasi dan pengawasan khususnya bagi MKDKI;
2. perlindungan hukum terhadap pasien maupun perlindungan dan tanggung jawab tenaga kesehatan haruslah diatur dalam undang – undang tersendiri. Pengaturan khusus ini diperlukan baik untuk kepentingan pasien itu sendiri dan tenaga kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Hukum perlindungan konsumen di Indonesia, Janus Sidabalok, PT citra Aditya Bakti, Bandung 2006
Penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di Indonesia, Muhammad Mulyohadi Ali. Dkk2007
Sikap dokter dan profesi menghadapi gugatan malpraktik medis, Bilben Ahmad, Makalah, Bandung 2005
Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gunawan Widjaya & Yani Ahmad, 2000
Etika kedokteran indonesia dan penanganan pelanggaran etika di Indonesia, Budi Sampurna 2005
Undang-undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan
Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar